Seiring dengan kemajuan zaman, atap rembio (rumbia) di
bengkulu kian tergeser dengan keberadaan seng dan genteng fiber dikarenakan
dari segi mutu dan kualitas saat ini atap rembio memang masih tergolong sangat
kurang, seperti halnya dalam ketahanan untuk atap rumah, juga tidak tahan lama
dan rawan terbakar, belum lagi akibat terpaan angin kencang yang kapan saja
bisa terbang karena
dihempas saat hujan badai.
Semakin menurunnya tingkat produksi atap rembio kini juga
disebabkan kurang adanya minat
masyarakat lagi untuk menggunakakannya,
peminat atap rembio kini lebih banyak
kepada para petani ataupun perkebunan-perkebunan sebagai atap pondok selain itu
banyak pengusaha restoran makanan juga mulai memakai atap rembio untuk tempat
lesehan dikarenakan atap rembio lebih berkesan seperti suasana desa, maka dari
itu tidak hanya pada atap pondok saja rembio digunakan melainkan juga untuk
tempat-tempat yang menginginkan suasana tradisional.
Atap rembio sendiri terbuat dari daun-daun kelapa atau ijuk
yang telah dipisahkan dengan lidinya, proses pembuatannya sendiri seperti
menganyam dengan menggunakan tali seperti
tali bambu yang tipis ataupun dari akar pohon, bahannya sendiri juga
menggunakan sebilah bambu sepanjang 1,5
meter sebagai tumpuan untuk menjalin daun-daun kelapa hingga membentuk atap dan
diikat dengan tali-tali tersebut, cara kerjanya cukup sederhana hanya dianyam
menggunakan tangan setelah rembio selesai dibuat kemudian dijemur hingga kering
menguning, tak ada peralatan khusus ataupun mesin dalam pengerjaannya, untuk
ketahanan rembio sediri bisa mencapai 2-3 tahun.
Dahulunya rembio
digunakan sebagai pelindung rumah dari terpaan hujan dan cuaca panas sebelum
adanya seng dan genteng fiber, terutama bagi masyarakat desa dan perkampungan.
Harga daun rembio sendiri saat ini berkisar Rp.4.000,- untuk
satu bekawan( satu ikat), menurut Aminah pengrajin atap rembio( 58) jalan danau
kelurahan dusunbesar mengatakan saat ini atap rembio semakin menurun, banyak
ibu-ibu pengrajin tidak lagi membuat atap tersebut bahkan mulai meninggalkan,
dengan alasan atap rembio tak lagi diinginkan masyarakat.
Atap rembio sendiri dijual dalam skala besar hingga ratusan,
pembelinya pun sering dari luar seperti curup hingga menggunakan mobil untuk
memesannya, aminah sendiri dalam sehari mampu membuat 40 ikat atap rembio,
menurutnya atap rembio akan semakin bagus bila sudah menguning dan kering
selain itu kelebihan atap rembio bila saat hujan tidak akan bersuara tidak
seperti halnya seng dan lebih terasa sejuk bila menggunakan rembio ini, selain
itu daun-daun kelapa yang ada ia dapatkan dari kebunnya sendiri, dalam sehari
bisa mencapai ratusan lembar daun yang didapat.
“ biasonyo la ado pembeli nak mesan rembio ko, banyak disiko
ibuk-ibuk narok rembionyo dipinggir jalan kalau lagi ado yang mesan kami
biasonyo samo-samo ngerjoinyo biar cepek selesai, walaupun duitnya dak seberapo
tapi jadilah untuk nambah-nambah duit belanjo”, ujarnya.
Tidak meningkatnya harga dari rembio sendiri tidak
mengurungkan niat aminah untuk terus menganyam atap tersebut walaupun umurnya
sudah terbilang tidak muda lagi, ia lakukan tanpa mengenal lelah demi mencukupi
kebutuhannya.(mg-Amd)
Kasian juga ya para pengrajin, jika memang kian menggerus harusnya di sela waktu merak mencari kreasi lain yang lebih menjanjikan dari pada yg di tekuni sekarang,, semoga masalah ini cepat teratasi oleh para pemerintah
BalasHapuspengrajin harus dibina juga yah
BalasHapusEMI