Jumat, 21 Desember 2012

Pengrajin atap rembio kian tegerus

Seiring dengan kemajuan zaman, atap rembio (rumbia) di bengkulu kian tergeser dengan keberadaan seng dan genteng fiber dikarenakan dari segi mutu dan kualitas saat ini atap rembio memang masih tergolong sangat kurang, seperti halnya dalam ketahanan untuk atap rumah, juga tidak tahan lama dan rawan terbakar, belum lagi akibat terpaan angin kencang yang kapan saja bisa terbang karena 
dihempas saat hujan badai.


Semakin menurunnya tingkat produksi atap rembio kini juga disebabkan  kurang adanya minat masyarakat  lagi untuk menggunakakannya, peminat atap rembio kini  lebih banyak kepada para petani ataupun perkebunan-perkebunan sebagai atap pondok selain itu banyak pengusaha restoran makanan juga mulai memakai atap rembio untuk tempat lesehan dikarenakan atap rembio lebih berkesan seperti suasana desa, maka dari itu tidak hanya pada atap pondok saja rembio digunakan melainkan juga untuk tempat-tempat yang menginginkan suasana tradisional.
Atap rembio sendiri terbuat dari daun-daun kelapa atau ijuk yang telah dipisahkan dengan lidinya, proses pembuatannya sendiri seperti menganyam dengan menggunakan tali seperti  tali bambu yang tipis ataupun dari akar pohon, bahannya sendiri juga menggunakan sebilah bambu sepanjang  1,5 meter sebagai tumpuan untuk menjalin daun-daun kelapa hingga membentuk atap dan diikat dengan tali-tali tersebut, cara kerjanya cukup sederhana hanya dianyam menggunakan tangan setelah rembio selesai dibuat kemudian dijemur hingga kering menguning, tak ada peralatan khusus ataupun mesin dalam pengerjaannya, untuk ketahanan rembio sediri bisa mencapai 2-3 tahun.
 Dahulunya rembio digunakan sebagai pelindung rumah dari terpaan hujan dan cuaca panas sebelum adanya seng dan genteng fiber, terutama bagi masyarakat desa dan perkampungan.
Harga daun rembio sendiri saat ini berkisar Rp.4.000,- untuk satu bekawan( satu ikat), menurut Aminah pengrajin atap rembio( 58) jalan danau kelurahan dusunbesar mengatakan saat ini atap rembio semakin menurun, banyak ibu-ibu pengrajin tidak lagi membuat atap tersebut bahkan mulai meninggalkan, dengan alasan atap rembio tak lagi diinginkan masyarakat.
Atap rembio sendiri dijual dalam skala besar hingga ratusan, pembelinya pun sering dari luar seperti curup hingga menggunakan mobil untuk memesannya, aminah sendiri dalam sehari mampu membuat 40 ikat atap rembio, menurutnya atap rembio akan semakin bagus bila sudah menguning dan kering selain itu kelebihan atap rembio bila saat hujan tidak akan bersuara tidak seperti halnya seng dan lebih terasa sejuk bila menggunakan rembio ini, selain itu daun-daun kelapa yang ada ia dapatkan dari kebunnya sendiri, dalam sehari bisa mencapai ratusan lembar daun yang didapat.
“ biasonyo la ado pembeli nak mesan rembio ko, banyak disiko ibuk-ibuk narok rembionyo dipinggir jalan kalau lagi ado yang mesan kami biasonyo samo-samo ngerjoinyo biar cepek selesai, walaupun duitnya dak seberapo tapi jadilah untuk nambah-nambah duit belanjo”, ujarnya.
Tidak meningkatnya harga dari rembio sendiri tidak mengurungkan niat aminah untuk terus menganyam atap tersebut walaupun umurnya sudah terbilang tidak muda lagi, ia lakukan tanpa mengenal lelah demi mencukupi kebutuhannya.(mg-Amd)

2 komentar:

  1. Kasian juga ya para pengrajin, jika memang kian menggerus harusnya di sela waktu merak mencari kreasi lain yang lebih menjanjikan dari pada yg di tekuni sekarang,, semoga masalah ini cepat teratasi oleh para pemerintah

    BalasHapus