Suka tidak suka, kehidupan
selebritis menjadi keseharian dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keberadaan
selebritis dalam kehidupan masyarakat ini bahkan menjadi sebuah menu utama
dalam lingkup obrolan antar sesama masyarakat. Ini tidak bisa dihindari,
fenomena artis selalu disuguhkan setiap hari terutama melalui media elektronik
yang menyiarkannya dalam berbagai macam acara infotainment. Tanpa kenal lelah
seolah berburu mendapatkan berita terekslusif, tayangan infotainment disuguhkan
dihadapan para pemirsa dimulai dari bangun tidur hingga malam hari
misalnya, Insert, Kiss, Silet,I-Gossip dan lain-lain.
Permasalahan yang sedang dihadapi
oleh para artis disuguhkan dengan gamblang, seolah tidak ada batas mana wilayah
pribadi dan mana wilayah publik. Saking serunya tayangan infotainment ini,
masyarakat seolah merasa kenal secara ‘dekat’ dengan para artis tersebut,
masyarakat semakin ‘pintar’ dan ‘tahu’ apa yang sedang dirasakan oleh artis
tersebut. Sehingga tidak jarang obrolan (terutama di kalangan ibu-ibu rumah
tangga) berkisar mengenai gossip-gosip tentang artis, baik tentang perkawinan,
perceraian, perselingkuhan dan lain-lainnya. Semua dibahas tuntas oleh mereka
dan saling melengkapi cerita
Tayangan tentang selebritis ini
seolah tidak memberi kesempatan para selebrita untuk memiliki wilayah pribadi.
Para pekerja infotainment saling berlomba untuk memburu berita tentang para
artis demi mendapatkan berita terbaik dan terdepan dan demi untuk
memuaskan para pemirsanya.
Dari sejumlah
peristiwa selebritis yang dihadirkan ditengah masyarakat melalui media TV ini
terutama dalam bentuk tayangan yang dihadirkan dalam infotainment adalah
seutuhnya tentang kehidupan mereka sehari-hari , tentang diri mereka
sehari-hari dan tentang sekelumit cerita yang mengharubirukan pemirsa atas
konflik yang sedang dihadapinya. Seakan semua ditelanjangi demi untuk memuaskan
dahaga para pemirsa atas selebritis idolanya. Untuk itu kita belum atau tidak
dapat menghindari keberpengaruhan yang terinternalisasi dalam konstruksi
pemikiran masyarakat atas segala tingkah polah para selebritis tersebut. Semua
berwacana, semua berpro-kontra atas peristiwa-peristiwa komunikasi yang
terjadi di lingkungan artis tersebut. Fenomena atas realita sosial inilah yang
selalu disuguhkan sehari-hari dihadapan para pemirsa televisi.
Pertanyaannya adalah akankah terjadi konstruksi atas realitas secara sosial
dalam masyarakat
Konstruksi Realita Sosial di Masyarakat
Konflik adalah fenomena sosial dan
ia merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Artinya
masyarakat menyadari dan merasakan bahwa konflik itu muncul dalam dalam dunia
sehari-hari. Konflik juga sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari
tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda. Konflik antar
komunitas dalam masyarakat didefinisikan sebagai suatu kondisi wajar tetapi
bila sudah melibatkan kekerasan kewajaran konflik menjadi tidak lagi. Konflik
bersifat inheren dalam kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang
nyata tentang fenomena tersebut. Bahkan masyarakat menyimpan pengalaman tentang
konflik sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka.
Penjelasan ini adalah sebuah
gambaran tatkala masyarakat menanggapi fenomena sosial dari keseharian yang
mereka alami. Seperti diangkap dalam kalimat di awal tulisan, bahwa kehidupan
para selebritis menjadi keseharian dalama kehidupannya, maka mau tidak mau
masyarakat mengalami sebuah pengalaman baru yang terpampang di benaknya tentang
peristiwa yang mungkin saja akan terjadi dalam dirinya. Ia akan mencoba
menginternalisasikan dalam dirinya dan bahkan berakhir pada sebuah perubahan
konstruksi sosial dirinya.
Sebelum lebih lanjut menguraikan
konstruksi sosial atas kasus tersebut pemahaman konstruksi sosial terlebih
dahulu akan dijelaskan. Bahwa Konsep konstruksi sosial diperkenalkan awal oleh
Peter L. Berger dan Thomas Luckman dengan bukunya yang berjudul ”The
Social In Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of
Knowledge” (1966). Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan
dan interaksinya, dimana individu menciptkan secara terus menerus suatu
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Realitas sosial
berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan
wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat
plural, dinamis dan dialektis. Singkatnya bahwa realita atas sesuatu dari
seseorang mungkin tidak akan sama dengan realita orang lain.
Walaupun Berger berangkat dari
pemikiran Schutz, Berger jauh keluar dari fenomenologi Schutz –yang hanya
berkutat pada makna dan sosialitas. Namun demikian, Berger tetap menekuni
makna, tapi dalam skala yang lebih luas, dan menggunakan studi sosiologi
pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua,
yakni legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara
sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial (Berger,
1991: 36). Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan
pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif karena tidak hanya menyangkut
penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral. Legitimasi, dalam pengertian fundamental,
memberitakan apa yang seharusnya ada/terjadi dan mengapa
terjadi.
Berger lebih memfokuskan pada proses
ketika individu menanggapi kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman
mereka, dan itulah yang disebut dengan konstruksi realitas secara sosial.
Dalam pandangan konstruksionisme sosial, realitas lebih berbicara
tentang apa yang kita katakan saat itu. Artinya bahwa jika kita mengatakan
berbeda maka akan berbeda. Sehingga dalam acuan Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann (1990) penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan
penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi
istilah kunci teori konstruksi sosial “Kenyataan” adalah suatu kualitas
yang terdapat dalam fenomenafenomena yang memiliki keberadaan (being) yang
tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat
meniadakannya dengan angan-angan. “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa
fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik-karakteristik yang spesifik.
Berger menyatakan bahwa
masyarakat adalah produk dari manusia, namun masyarakat ini secara terus
menerus mempunyai aksi kembali terhadap manusia (pembuatnya). Sehingga manusia
pun adalah produk masyarakat. Dalam hal ini terjadi proses dialektis. Proses
dialektis inilah yang terbagi menjadi 3 tahap, yang dinyatakan oleh Berger
adalah momen, yaitu :
Pertama, Eksternalisasi, yakni usaha
untuk pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan
mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan selalu
mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. Pada tahap ini manusia mengalamai
proses penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua,
Objektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun
fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan realitas objektif
yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu aktivitas
yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ini adalah
tahap interaksi sosial yang terjadidalam dunia intersubjektif yang dilembagakan
atau mengalami proses institusionalisasi. Ketiga, Internalisasi.
Proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia
sosial.Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan
ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai
gejala internal bagi kesadaran. Melalui proses internalisasi, manusia menjadi
hasil dari masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14-15)
Berger memandang bahwa realitas itu
tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan.
Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini realitas
berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda
atas suatu realitas. Setiap yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan
tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan
realitas itu dengan konstruksinya masing-masing.
Dalam Burhan Bungin, Berger
menyatakan bahwa hal yang terpenting adalah pembuatan signifikasi, yakni
pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Berger dan Luckmann mengatakan bahwa
sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi lainnya karena
tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks pemaknaan
subjektif, maka objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda meski tidak
dibuat untuk maksud itu.
Hal ini dapat didefinisikan sebagai
sebuah simbol dengan nama bahasa simbol. Karena itu, bahasa menjadi penting
dalam objektivasi terhadap tanda-tanda. Berkaitan dengan hal itu, Engkus Kuswarno
(2008:23)merangkumnya asumsi- asumsi yang mendasari konstruksi realitas
secara sosial adalah :
- Realitas
tidak hadir dengan sendirinya, tetapi diketahui dan dipahami melalui
pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa
- Realitas
dipahami melalui bahasa yang tumbuh dari interaksi sosial pada saat dan
tempat tertentu
- Bagaimana
realitas dipahami bergantung pada konvensi-konvensi sosial yang ada
- Pemahaman
terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk banyak aspek
penting dalam kehidupan, seperti aktivitas berpikir, dan berperilaku.
Selebritis dengan Realita Sosialnya
Bagian ini mencoba mengungkap
beberapa ingatan pembaca tentang kisah-kisah selebrita kita di Indonesia. Kami
ambil beberapa contoh kasus selebritis yang ‘agak fenomenal’ diharapkan kita
memiliki kesepakatan makna komunikasi yang sama atas peristiwa para selebriti itu sendiri dan kami tidak usah berpanjang lebar lagi tentang pemaknaan
tersebut.
Contoh selebritis:
Dewi Persik
Sosok ia adalah penyanyi dangdut yang berbadan mungil,langsing,
dan selalu tampil seksi, seakan mem-positioning-kan bahwa dialah yang
menjadi icon wanita seksi dijagat dunia dangdut saat ini dengan goyangannya
yang khas disebut “goyang gergaji”. Penampilan ini semakin menjadi-jadi
terutama pasca perceraiannya dengan penyanyi dangdut pula yaitu Saiful Jamil.
Berbeda dengan mantan istrinya, Saiful Jamil seolah menjadi tokoh protagonis
bagi masyarakat dengan selalu berpenampilan layaknya ahli agama, berpakaian
muslim (baju koko) dan selalu berkopiah disetiap kesempatan dalam tayangan
infotainment. Sosok kedua insan yang sudah bercerai ini seolah menunjukan
sebuah penampilan yang saling berlawanan. Sosok seksi Dewi Persik ini tak pelak
menimbulkan keresahan bagi sebagian masyarakat. Sehingga tak ayal banyak
daerah yang menolak penampilan Dewi Persik ketika melakukan pertunjukannya.
Bahkan beberapa ‘agenda manggung’ nya terpaksa dibatalkan berkaitan dengan
tidak diberi ijin untuk manggung. Peristiwa ini membuat berang Dewi Persik,
sehingga di pertengahan tahun 2007 lalu ia sempat mengancam akan membeberkan
perilaku para pejabat di Kota Tangerang yang memiliki wanita-wanita simpanan.
Ia menganggap para pejabat di Lingkungan Kota Tangerang adalah munafik.
Berikutnya peristiwa ‘menarik’ dari seorang Dewi Persik adalah terjadinya
peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Seorang penggemarnya melakukan
pelecehan seksual dengan menyentuh bagian payudara Dewi Persik tatkala ia baru
turun dari panggung. Peristiwa tersebut tertangkap kamera wartawan
Infotainment. Setelahnya, hampir seluruh program infotainment menayangkan
peristiwa tersebut dan tentunya disertai pernyataan dari Dewi Persik atas
kesedihannya dalam pelecehan tersebut.
Julia Perez
Tidak jauh berbeda dengan Dewi Persik, ia sebenarnya
di blantika dunia selebritis terutama dalam genre music dangdut adalah
pendatang baru dan di kenal dengan ‘goyang blender’. Ia sebelumnya lama tinggal
di Negara Perancis. Ia terlihat lebih mengenal dan membawakan dirinya seolah ia
tinggal di negara tersebut yang lebih permisif atas apapun penampilannya.
Seorang Julia yang saat ini termasuk menyandang predikat artis seksi,
adalah juga aktivis pergerakan anti HIV/AIDS. Untuk menyatakan sikapnya bahwa
ia konsisten dalam aktivitasnya, ia mencoba menyelipkan pesan misi dan visinya
melalui peluncuran kaset album perdananya. Pesan tersebut ia wujudkan dalam
bentuk pemberian bonus Kondom di Album perdana yang berjudul “Kamasutra”
dengan lagu favoritnya “Belah Duren”. Meski terjadi respon dari
masyarakat ia tetap tidak mempedulikannya, karena ia menganggap itu adalah
prinsip atas misi dan visinya untuk memerangi HIV/AIDS. Sehingga tidak salah
jika ia dianggap sebagai sosok seksi yang mengusung kebebasan pergaulan dan
tidak salah juga untuk beberapa acara diskusi tentang RUU Pornografi, ia
di posisikan sebagai penentang dikeluarkannya RUU tersebut.
Cinta Laura
Berbeda dengan kedua artis sebelumnya, ia adalah sosok
artis yang masih berusia belia dan terlihat cenderung polos dan
kekanak-kanakan. Ia saat ini adalah salah satu artis muda yang laris pasca
keberhasilannya dalam tayangan sinetron Cinderella. Ia yang memang dilahirkan
dari seolah Ayah yang berdarah Jerman dan berIbu Indonesia,Ini pula yang
memaksa ia untuk berkomunikasi dalam bahasa Internasional yaitu Inggris.
Kesempatan tinggal di Indonesia muncul ketika ia berkesempatan menjadi salah
satu bintang sinetron dan kebetulan sukses. Kesuksesan ini ternyata tidak hanya
terpicu oleh wajahnya yang kebule-bulean saja, tetapi berbicara
kebule-bulean ini yang memikat perhatian pemirsa. Alih-alih ia tidak mampu bahasa Indonesia dengan baik, malah
seperti itu pula yang mengorbitkan dirinya menjadi pemain sinetron laris.
Bahkan kalimat itu pula yang ia jadikan sebagai ladang bisnis sampingan ia
dengan dijadikan sebagai Ringtone HP, jadi kita tidak asing lagi dengan kalimat
Mana Ujyan…Becuu..ek,…ga ada Ojuu..ek!
Selebritis dalam Konstruksi Realitas Sosial
Berbicara tentang artis tidak
terlepas dari kontribusi media massa yang mengangkatnya. Popularitas selebritis
tidak bisa dipungkiri melalui kendaraan media massa yang meliputnya. Akhirnya
semua tersaji dan terpampang jelas semua perilaku atau tingkah polahnya di
media massa dan ditonton bahkan dinikmati oleh masyarakat dalam keseharian
mereka. Peristiwa di atas adalah beberapa contoh kasus yang menarik perhatian
masyarakat. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, mari kita lihat dalam kajian
konstruksi sosial.
Dewi Persik dan Julia Perez adalah sebagai sosok
realitas yang ada di masyarakat saat ini. Dengan dalih untuk menciptakan
kreativitas, mereka mengekspresikannya dalam olah seni vokal yang diikuti oleh
olah gerak bagian pinggul yang mereka klaim sebagai hasil ’temuan’ mereka.
Persoalannya adalah bahwa dalam
Berger pun telah dinyatakan setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang
berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap yang mempunyai pengalaman, preferensi,
pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan
menafsirkan realitas itu dengan konstruksinya masing-masing. Demikian juga
dengan peristiwa komunikasi yang dibangun oleh mereka. Impresi realitas sosial
ini semakin menguat tatkala tingkah polahnya diliput terutama di media televisi
melalui tayangan infotainment. Teori Kultivasi nampak menjadi kurang tepat
dalam pemaknaan komunikasi yang dibangun pemirsa karena tayangan infotainment
dianggapnya adalah peristiwa sebenar-benarnya dari sosok selebritis seperti
layaknya Reality Show.
Sehingga tidak salah jika pemaknaan
pornografi media massa tidak saja sampai ketika media memaknakan pornoaksi ke
dalam pornografi , namun kekuatan media, terutama televisi telah menyebarkan
konstruksi sosial media massa kepada seluruh lapisan masyarakat, ini adalah
tahapan berikutnya dari konstruksi sosial media dalam rangkaian proses
konstruksi sosial media keseluruhannya. Jadi yang tampak saat ini tidak sekedar
fenomena dua artis yang memiliki kekhasan goyang pinggulnya saja ,
namun sebenarnya fenomena porno itu sendiri sebagai suatu bangunan sosial yang
selama ini ada, hidup dan tumbuh di masyarakat. Karena itu bukan sekedar
fenomena akan tetapi sebagai ikon dari pemaknaan konstruksi sosial yang selama
ini ada di masyarakat. Mereka adalah sosok penerus Inul, hanyalah sebuah
penanda dari pertanda yang menjadi persoalan besar yang bernama “porno”
dimasyarakat pada umumnya. Ini adalah tahapan objektivasi sebagai sebuah
pemahaman realitas sosial yang terinstitusionalisasi dalam masyarakat.
Kekuatan-kekuatan konstruksi sosial
media massa terhadap khalayak tentang tingkah polah para selebritis, sampai
pada media mampu menciptakan sebuah realitas sosial yang dinamakan realitas
maya, serta mampu menghidupkan khalayak pada sebuah realitas yang dibangun
berdasarkan kesadaran palsu (pseudo reality). Jadi kekuatan konstruksi sosial
media massa mampu melumpuhkan daya kritis khalayak. Karena ternyata pasca-Inul
masih terjadi perilaku sejenis yang dilakukan oleh selebritis lainnya. Jadi,
persoalannya adalah ketika kemampuan massa itu digunakan untuk mengkonstruksi
erotisme, maka kekuatan konstruksi sosial media akan mampu membangun sebuah
kesadaran palsu khalayak bahwa erotisme adalah sebuah kebenaran. Ini adalah
tahapan internalisasi, masyarakat mengalami konstruksi realitas
sosialnya sehingga terjadi adanya kesepakatan makna bahwa perilaku para
selebritis tersebut adalah sebuah hal yang wajar dan menjadi sebuah kebenaran.
Kekuatan kebenaran ini selalu mejadi
acuan realitas keseharian masyarakat pada umumnya, sesering mereka
dipertontonkan berbagai macam konflik yang terjadi atas peristiwa para artis
tersebut. Sehingga menjadi wajar tatkala Dewi Persik yang selalu tampil seksi
adalah salah satu artis terseksi di dunia dangdut. Wajar pula sosok ia
memunculkan rasa penasaran dan rasa ingin tahu lebih dalam tentang
keseksian-nya oleh salah satu penggemar dengan melakukan tindakan memegang
payudaranya. Itu bisa jadi adalah sebuah proses konstruksi sosial yang dibangun
oleh penggemar tersebut akan arti komunikasi seorang Dewi Persik.
Demikian pula dengan peristiwa
komunikasi yang terjadi tatkala pencekalan beberapa artis yang berpakaian seksi
termasuk Dewi Persik di beberapa daerah. Dewi boleh bersikap berang atas pencekalan
tersebut dengan rencana menggugat Walikota Tangerang Wahidin Halim. Tetapi Dewi
tidak dapat mencegah peristiwa komunikasi yang dibangunnya. Seperti yang
dinyatakan oleh Carl I Hoveland bahwa komunikasi adalah :
“Communication is the process by which an individual transmit stimuly (usually
verbal symbols) to modify the behavior of another individuals”. Dalam
definisi ini tampak komunikasi itu sebagai proses menstimulasi dari seseorang
individu terhadap individu lain dengan menggunakan lambang-lambang yang
berarti, berupa lambang kata untuk mengubah tingkah laku. Dan tahap objektivasi
itulah yang dinyatakan oleh seorang Walikota Tangerang dalam mengkonstruksi
realitas sosial yang muncul dalam memakna bangunan sosial dari Dewi Persik.
Demikian juga dengan bangunan sosial
yang diciptakan oleh Julia Perez, meski ia mencoba untuk menyatakan bahwa
tindakan memberi bonus kondom adalah bagian dari kepedulian ia dalam memerangi
HIV /AIDS dan tindakan ini sebagai upaya mendukung program pemerintah dalam
bidang KB, ia tidak bisa mengelak bahwa seorang Jupe adalah sosok artis seksi
yang seronok. Sosok itulah yang terkonstruksi di benak masyarakat. Ia kurang
menyadari tindakan itu berlawanan dengan budaya yang ada saat ini. Pemberian
Kondom gratis masih sulit diartikan sebagai pencegahan HIV/AIDS, pemberian
kondom semakin sulit ketika dinyatakan sebagai “Save Sex”. Artikulasi ‘seks
yang aman’ dalam budaya kita sebagai sebuah pemaknaan bahasa adalah seks bebas.
Artinya bahwa kondom dikomunikasikan sebagai alat untuk dapat melakukan
pergaulan seks secara bebas namun aman. Itulah Konstruksi sosial yang terbangun
di masyarakat yang menguatkan seorang Julia Perez adalah Icon artis terseksi!
Berbeda dengan Kasus Cinta Laura,
Berger memandang bahwa realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga
sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan
dikonstruksi. Dengan pemahaman ini realitas berwajah ganda/plural. Hal yang
harus diakui popularitas Cinta Laura adalah sebuah fenomena bangunan sosial yang
ia miliki secara tidak sengaja. Fenomena popularitas seorang artis biasa
terbangun oleh wajah Indo atau kebule-bulean, seperti dipelopori oleh artis
dekade tahun 80-an Ida Iasha, sementara Cinta Laura populer dengan berbicara
kebule-bulean. Berawal dari juara Top Model 2006, akhirnya ditawari untuk
menjadi pemain sinetron Cinderella. Dan uniknya empat bulan pertama ia habiskan
untuk belajar bahasa Indonesia. Jadilah ia tampil dengan keterbatasan kemampuan
bahasa dan keterbatasan intonasi bahasa yang berlanggam Indonesia.
Uniknya lagi ucapan dan gaya berbicara keriting itulah yang memikat
perhatian pemirsa.
Berawal dari ketidaksengajaan itulah
yang akhirnya disadari oleh pihak Cinta Laura sebagai sebuah nilai jual.
Mengulang pernyataan Berger bahwa konstruksi sosial itu dapat dibentuk atau
dikonstruksikan, peristiwa itulah yang menginspirasinya menjadi sebuah trademark
Cinta Laura. Trademark itulah yang menjadi sebuah aset yang dianggap
layak jual sehingga merasa perlu untuk dijual dalam bentuk Ringtone HP dengan
kalimat Mana Ujyan…Becuu..ek,…ga ada Ojuu..ek!
Peristiwa komunikasi yang terjadi
dalam ketiga kasus ini menunjukan sebuah pola pembedaan realita dari masing
masing benak dirinya dengan masyarakat. Tatkala Dewi Persik dan Julia
Perez berujar bahwa penampilan adalah satu paket yang harus ia hadirkan demi
mumuaskan para penggemarnya, tentu tidak akan bisa ’dipaksa’ sama bagi publik
lainnya. Demikian juga dengan yang dialami Cinta Laura tatkala ia mengalami
kesulitan berbicara yang terlihat ’keriting’ dalam berlanggam Indonesia,
realita yang terjadi dibenak publik adalah sebuah kelucuan.
Persoalan adanya keberpengaruhan yang memunculkan
reaksi konstruksi sosial adalah sebuah konsekuensi logis yang terjadi
dimasyarakat, mengingat bahwa selebritis adalah Public Figure.
Keberadaan mereka sebagai public figure yang terus menerus menjadi sorotan
masyarakat, akan semakin tersorot jika mereka memiliki ’keunikan’ kasus.
Semakin menarik kasus yang sedang menimpa mereka semakin gencar pemberitaan
mereka di berbagai media. Semakin gencar pemberitaan di media semakin mudah
pula akses yang dimiliki masyarakat untuk mengetahui sosok selebritis. Dan
semakin mudah mereka mengakses berita selebritis semakin besar pula persoalan
konflik realitas sosial yang mengkonstruksi dalam diri masyarakat.