Jumat, 21 Desember 2012

Pengrajin atap rembio kian tegerus

Seiring dengan kemajuan zaman, atap rembio (rumbia) di bengkulu kian tergeser dengan keberadaan seng dan genteng fiber dikarenakan dari segi mutu dan kualitas saat ini atap rembio memang masih tergolong sangat kurang, seperti halnya dalam ketahanan untuk atap rumah, juga tidak tahan lama dan rawan terbakar, belum lagi akibat terpaan angin kencang yang kapan saja bisa terbang karena 
dihempas saat hujan badai.


Semakin menurunnya tingkat produksi atap rembio kini juga disebabkan  kurang adanya minat masyarakat  lagi untuk menggunakakannya, peminat atap rembio kini  lebih banyak kepada para petani ataupun perkebunan-perkebunan sebagai atap pondok selain itu banyak pengusaha restoran makanan juga mulai memakai atap rembio untuk tempat lesehan dikarenakan atap rembio lebih berkesan seperti suasana desa, maka dari itu tidak hanya pada atap pondok saja rembio digunakan melainkan juga untuk tempat-tempat yang menginginkan suasana tradisional.
Atap rembio sendiri terbuat dari daun-daun kelapa atau ijuk yang telah dipisahkan dengan lidinya, proses pembuatannya sendiri seperti menganyam dengan menggunakan tali seperti  tali bambu yang tipis ataupun dari akar pohon, bahannya sendiri juga menggunakan sebilah bambu sepanjang  1,5 meter sebagai tumpuan untuk menjalin daun-daun kelapa hingga membentuk atap dan diikat dengan tali-tali tersebut, cara kerjanya cukup sederhana hanya dianyam menggunakan tangan setelah rembio selesai dibuat kemudian dijemur hingga kering menguning, tak ada peralatan khusus ataupun mesin dalam pengerjaannya, untuk ketahanan rembio sediri bisa mencapai 2-3 tahun.
 Dahulunya rembio digunakan sebagai pelindung rumah dari terpaan hujan dan cuaca panas sebelum adanya seng dan genteng fiber, terutama bagi masyarakat desa dan perkampungan.
Harga daun rembio sendiri saat ini berkisar Rp.4.000,- untuk satu bekawan( satu ikat), menurut Aminah pengrajin atap rembio( 58) jalan danau kelurahan dusunbesar mengatakan saat ini atap rembio semakin menurun, banyak ibu-ibu pengrajin tidak lagi membuat atap tersebut bahkan mulai meninggalkan, dengan alasan atap rembio tak lagi diinginkan masyarakat.
Atap rembio sendiri dijual dalam skala besar hingga ratusan, pembelinya pun sering dari luar seperti curup hingga menggunakan mobil untuk memesannya, aminah sendiri dalam sehari mampu membuat 40 ikat atap rembio, menurutnya atap rembio akan semakin bagus bila sudah menguning dan kering selain itu kelebihan atap rembio bila saat hujan tidak akan bersuara tidak seperti halnya seng dan lebih terasa sejuk bila menggunakan rembio ini, selain itu daun-daun kelapa yang ada ia dapatkan dari kebunnya sendiri, dalam sehari bisa mencapai ratusan lembar daun yang didapat.
“ biasonyo la ado pembeli nak mesan rembio ko, banyak disiko ibuk-ibuk narok rembionyo dipinggir jalan kalau lagi ado yang mesan kami biasonyo samo-samo ngerjoinyo biar cepek selesai, walaupun duitnya dak seberapo tapi jadilah untuk nambah-nambah duit belanjo”, ujarnya.
Tidak meningkatnya harga dari rembio sendiri tidak mengurungkan niat aminah untuk terus menganyam atap tersebut walaupun umurnya sudah terbilang tidak muda lagi, ia lakukan tanpa mengenal lelah demi mencukupi kebutuhannya.(mg-Amd)

Tabot Sudah Menjadi Upacara Tradisional Bengkulu

Ketika memasuki kota Bengkulu terdapat 2 bangunan layaknya gerbang masuk kota yang merefleksikan tradisi Tabot yaitu tradisi yang dikaitkan dengan sejarah Islam yang dilaksanakan tiap tahun baru hijriah selama 10 hari. Tradisi ini sudah ada sejak abad ke- 14 dan masyarakat Bengkulu percaya jika perayaan Tabot ini tidak dilaksanakan akan terjadi bencana. Setiap tahun perayaan Tabot terus berkembang yang diisi dengan acara-acara kolosal seperti fertival tari Tabot, telong-telong, ikan-ikan, dan lomba dol. 

Tidak ada yang tahu dengan pasti kapan upacara Tabot masuk ke Bengkulu, namun diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut paham Syi'ah ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India yang kebetulan merupakan penganut Islam Syi‘ah.
Para pekerja yang merasa cocok dengan tata hidup masyarakat Bengkulu, dipimpin oleh Imam Senggolo alias Syekh Burhanuddin, memutuskan tinggal dan mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas, sekarang dikenal dengan nama Kelurahan Tengah Padang. Tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali diwariskan kepada keturunan mereka yang telah berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu asli dan menghasilkan keturunan yang dikenal dengan sebutan orang-orang Sipai.
Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan sebutan upacara Tabot. Upacara Tabot ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil. Namun dalam perkembangannya, kegiatan Tabot menghilang di banyak tempat. Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua tempat, yaitu di Bengkulu dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumbar (masuk sekitar tahun 1831) dengan sebutan Tabuik. Keduanya sama, namun cara pelaksanaannya agak berbeda.
Jika pada awalnya upacara Tabot (Tabuik) digunakan oleh orang-orang Syi‘ah untuk mengenang gugurnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, maka sejak orang-orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi‘ah, upacara ini dilakukan hanya sebagai kewajiban keluarga untuk yakni memenuhi wasiat leluhur mereka. Belakangan, sejak satu dekade terakhir, selain melaksanakan wasiat leluhur, upacara ini juga dimaksudkan sebagai wujud partisipasi orang-orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat.
Upacara tradisional yang dinamakan dengan Tabot itu berasal dari kata Arab yaitu Tabut, yang secara harfiah berarti Kotak Kayu atau Peti. Konon menurut kepercayaan kaum Bani Israil pada waktu itu bahwa bila Tabut ini muncul dan berada di tangan pemimpin mereka, akan mendatangkan kebaikan bagi mereka. Namun sebaliknya bila Tabut tersebut hilang maka akan dapat mendatangkan malapeta bagi mereka.
Di Bengkulu sendiri, upacara Tabot ini merupakan upacara hari berkabung atas gugurnya Syaid Agung Husien bin Ali bin Abi Thalib, salah seorang cucu Nabi Muhammad SAW. Inti dari upacara tersebut adalah mengenang usaha dan upaya para pemimpin Syi'ah dan kaumnya yang berupaya mengumpulkan bagian-bagian dari jenazah Husien. Setelah semua bagian tubuhnya terkumpul kemudian diarak dan dimakamkan di Padang Karbala. Seluruh upacara berlangsung selama 10 hari, yaitu dari tanggal 01 sampai dengan 10 Muharram. Adapun tahapan dari upacara Tabot tersebut adalah sebagai berikut : Mengambil Tanah, Duduk Penja, Menjara, Meradai, Arak Penja, Arak Serban, Gam (masa tenang/berkabung) dan Arak Gedang serta Tabot terbuang.
Pada saat Tabot terbuang, masyarakat Bengkulu berbondong-bondong untuk mengikutinya. Mereka rela berjalan kaki dari Tapak Padri hingga ke Makam Imam Senggolo yang terletak di Jalan Kinibalu untuk melihat Tabot terbuang.
Tabot yang terus berkembang dari tahun ke tahun itu lama-kelamaan sudah semakin meninggalkan arti upacara tabot itu sendiri. Tabot yang sekarang lebih ke acara festival dan Tabot sendiri dijadikan suatu objek pariwisata di Bengkulu.
Upacara tabot di Bengkulu sudah berlansung sejak lama, yaitu sejak dari awal abad ke 18. Karena upacara ini sudah cukup lama tumbuh dan berkembang di sebagian masyarakat Kota Bengkulu, maka akhirnya dipandang sebagai upacara tradisional orang Bengkulu. Baik dari kalangan kaum Sipai maupun oleh seluruh masyarakat Melayu Bengkulu. Dengan demikian jadilah Upacara Tabot sebagai Upacara Tradisional dari suku Melayu Bengkulu.

Minggu, 16 Desember 2012

Selebritis dalam pandangan kontruksi sosial


Suka tidak suka, kehidupan selebritis menjadi keseharian dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keberadaan selebritis dalam kehidupan masyarakat ini bahkan menjadi sebuah menu utama dalam lingkup obrolan antar sesama masyarakat. Ini tidak bisa dihindari, fenomena artis selalu disuguhkan setiap hari terutama melalui media elektronik yang menyiarkannya dalam berbagai macam acara infotainment. Tanpa kenal lelah seolah berburu mendapatkan berita terekslusif, tayangan infotainment disuguhkan dihadapan para pemirsa dimulai dari bangun tidur  hingga malam hari misalnya, Insert, Kiss, Silet,I-Gossip dan lain-lain.
Permasalahan yang sedang dihadapi oleh para artis disuguhkan dengan gamblang, seolah tidak ada batas mana wilayah pribadi dan mana wilayah publik. Saking serunya tayangan infotainment ini, masyarakat seolah merasa kenal secara ‘dekat’ dengan para artis tersebut, masyarakat semakin ‘pintar’ dan ‘tahu’ apa yang sedang dirasakan oleh artis tersebut. Sehingga tidak jarang obrolan (terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga) berkisar mengenai gossip-gosip tentang artis, baik tentang perkawinan, perceraian, perselingkuhan dan lain-lainnya. Semua dibahas tuntas oleh mereka dan saling melengkapi cerita
Tayangan tentang selebritis ini seolah tidak memberi kesempatan para selebrita untuk memiliki wilayah pribadi. Para pekerja infotainment saling berlomba untuk memburu berita tentang para artis  demi mendapatkan berita terbaik dan terdepan dan demi untuk memuaskan para pemirsanya.
Dari sejumlah peristiwa selebritis yang dihadirkan ditengah masyarakat melalui media TV ini terutama dalam bentuk tayangan yang dihadirkan dalam infotainment adalah seutuhnya tentang kehidupan mereka sehari-hari , tentang diri mereka sehari-hari dan tentang sekelumit cerita yang mengharubirukan pemirsa atas konflik yang sedang dihadapinya. Seakan semua ditelanjangi demi untuk memuaskan dahaga para pemirsa atas selebritis idolanya. Untuk itu kita belum atau tidak dapat menghindari keberpengaruhan yang terinternalisasi dalam konstruksi pemikiran masyarakat atas segala tingkah polah para selebritis tersebut. Semua berwacana, semua berpro-kontra atas peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi di lingkungan artis tersebut. Fenomena atas realita sosial inilah yang selalu disuguhkan sehari-hari dihadapan para pemirsa televisi.   Pertanyaannya adalah akankah terjadi konstruksi atas realitas secara sosial dalam masyarakat

Konstruksi Realita Sosial di Masyarakat
Konflik adalah fenomena sosial dan ia merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Artinya masyarakat menyadari dan merasakan bahwa konflik itu muncul dalam dalam dunia sehari-hari. Konflik juga sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda. Konflik antar komunitas dalam masyarakat didefinisikan sebagai suatu kondisi wajar tetapi bila sudah melibatkan kekerasan kewajaran konflik menjadi tidak lagi. Konflik bersifat inheren dalam kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang nyata tentang fenomena tersebut. Bahkan masyarakat menyimpan pengalaman tentang konflik sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka.
Penjelasan ini adalah sebuah gambaran tatkala masyarakat menanggapi fenomena sosial dari keseharian yang mereka alami. Seperti diangkap dalam kalimat di awal tulisan, bahwa kehidupan para selebritis menjadi keseharian dalama kehidupannya, maka mau tidak mau masyarakat mengalami sebuah pengalaman baru yang terpampang di benaknya tentang peristiwa yang mungkin saja akan terjadi dalam dirinya. Ia akan mencoba menginternalisasikan dalam dirinya dan bahkan berakhir pada sebuah perubahan konstruksi sosial dirinya.
Sebelum lebih lanjut menguraikan konstruksi sosial atas kasus tersebut pemahaman konstruksi sosial terlebih dahulu akan dijelaskan. Bahwa Konsep konstruksi sosial diperkenalkan awal oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dengan bukunya yang berjudul  ”The Social In Construction of Reality, a Treatise in  the Sociological of Knowledge” (1966).  Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptkan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat plural, dinamis dan dialektis. Singkatnya bahwa realita atas sesuatu dari seseorang mungkin tidak akan sama dengan realita orang lain.
Walaupun Berger berangkat dari pemikiran Schutz, Berger jauh keluar dari fenomenologi Schutz –yang hanya berkutat pada makna dan sosialitas.  Namun demikian, Berger tetap menekuni makna, tapi dalam skala yang lebih luas, dan menggunakan studi sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni legitimasi. Legitimasi adalah pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial (Berger, 1991: 36). Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif karena tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral. Legitimasi, dalam pengertian fundamental, memberitakan apa yang seharusnya ada/terjadi dan mengapa terjadi.



Berger lebih memfokuskan pada proses ketika individu menanggapi kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman mereka, dan itulah yang disebut dengan konstruksi realitas secara sosial.    Dalam pandangan konstruksionisme sosial, realitas lebih berbicara tentang apa yang kita katakan saat itu. Artinya bahwa jika kita mengatakan berbeda maka akan berbeda. Sehingga dalam acuan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990) penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomenafenomena yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan. “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.
Berger menyatakan bahwa  masyarakat adalah produk dari manusia, namun masyarakat ini secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap manusia (pembuatnya). Sehingga manusia pun adalah produk masyarakat. Dalam hal ini terjadi proses dialektis.  Proses dialektis inilah yang terbagi menjadi 3 tahap, yang dinyatakan oleh Berger adalah momen, yaitu :
Pertama, Eksternalisasi, yakni usaha untuk pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. Pada tahap ini manusia mengalamai proses penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua, Objektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ini adalah tahap interaksi sosial yang terjadidalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Ketiga, Internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial.Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14-15)
Berger memandang bahwa realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas itu dengan konstruksinya masing-masing.
Dalam Burhan Bungin, Berger menyatakan bahwa hal yang terpenting adalah pembuatan signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Berger dan Luckmann mengatakan bahwa  sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi lainnya karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks pemaknaan subjektif, maka objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda meski tidak dibuat untuk maksud itu.  
Hal ini dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dengan nama bahasa simbol. Karena itu, bahasa menjadi penting dalam objektivasi terhadap tanda-tanda.  Berkaitan dengan hal itu, Engkus Kuswarno (2008:23)merangkumnya asumsi- asumsi  yang mendasari konstruksi realitas secara sosial adalah :
  1. Realitas tidak hadir dengan sendirinya, tetapi diketahui dan dipahami melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa
  2. Realitas dipahami melalui bahasa yang tumbuh dari interaksi sosial pada saat dan tempat tertentu
  3. Bagaimana realitas dipahami bergantung pada konvensi-konvensi sosial yang ada
  4. Pemahaman terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk banyak aspek penting dalam kehidupan, seperti aktivitas berpikir, dan berperilaku.
 Selebritis dengan Realita Sosialnya
Bagian ini mencoba mengungkap beberapa ingatan pembaca tentang kisah-kisah selebrita kita di Indonesia. Kami ambil beberapa contoh kasus selebritis yang ‘agak fenomenal’ diharapkan kita memiliki kesepakatan makna komunikasi yang sama atas peristiwa para selebriti itu sendiri dan kami tidak usah berpanjang lebar lagi tentang pemaknaan tersebut.
Contoh selebritis:
Dewi Persik
Sosok ia adalah penyanyi dangdut yang berbadan mungil,langsing, dan selalu tampil seksi, seakan mem-positioning-kan bahwa dialah yang menjadi icon wanita seksi dijagat dunia dangdut saat ini dengan goyangannya yang khas disebut  “goyang gergaji”. Penampilan ini semakin menjadi-jadi terutama pasca perceraiannya dengan penyanyi dangdut pula yaitu Saiful Jamil. Berbeda dengan mantan istrinya, Saiful Jamil seolah menjadi tokoh protagonis bagi masyarakat dengan selalu berpenampilan layaknya ahli agama, berpakaian muslim (baju koko) dan selalu berkopiah disetiap kesempatan dalam tayangan infotainment. Sosok kedua insan yang sudah bercerai ini seolah menunjukan sebuah penampilan yang saling berlawanan. Sosok seksi Dewi Persik ini tak pelak menimbulkan keresahan bagi sebagian masyarakat. Sehingga tak ayal banyak  daerah yang menolak penampilan Dewi Persik ketika melakukan pertunjukannya. Bahkan beberapa ‘agenda manggung’ nya terpaksa dibatalkan berkaitan dengan tidak diberi ijin untuk manggung. Peristiwa ini membuat berang Dewi Persik, sehingga di pertengahan tahun 2007 lalu ia sempat mengancam akan membeberkan perilaku para pejabat di Kota Tangerang yang memiliki wanita-wanita simpanan. Ia menganggap para pejabat di Lingkungan Kota Tangerang adalah munafik. Berikutnya peristiwa ‘menarik’ dari seorang Dewi Persik adalah terjadinya peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Seorang penggemarnya melakukan pelecehan seksual dengan menyentuh bagian payudara Dewi Persik tatkala ia baru turun dari panggung. Peristiwa tersebut tertangkap kamera wartawan Infotainment. Setelahnya, hampir seluruh program infotainment menayangkan peristiwa tersebut dan tentunya disertai pernyataan dari Dewi Persik atas kesedihannya dalam pelecehan tersebut.

Julia Perez
Tidak jauh berbeda dengan Dewi Persik, ia sebenarnya di blantika dunia selebritis terutama dalam genre music dangdut adalah pendatang baru dan di kenal dengan ‘goyang blender’. Ia sebelumnya lama tinggal di Negara Perancis. Ia terlihat lebih mengenal dan membawakan dirinya seolah ia tinggal di negara tersebut yang lebih permisif atas apapun penampilannya. Seorang Julia yang saat ini termasuk  menyandang predikat artis seksi, adalah juga aktivis pergerakan anti HIV/AIDS. Untuk menyatakan sikapnya bahwa ia konsisten dalam aktivitasnya, ia mencoba menyelipkan pesan misi dan visinya melalui peluncuran kaset album perdananya. Pesan tersebut ia wujudkan dalam bentuk pemberian bonus Kondom di Album perdana yang berjudul “Kamasutra” dengan lagu favoritnya “Belah Duren”.  Meski terjadi respon dari  masyarakat ia tetap tidak mempedulikannya, karena ia menganggap itu adalah prinsip atas misi dan visinya untuk memerangi HIV/AIDS. Sehingga tidak salah jika ia dianggap sebagai sosok seksi yang mengusung kebebasan pergaulan dan tidak salah juga untuk beberapa acara diskusi  tentang RUU Pornografi, ia di posisikan sebagai penentang dikeluarkannya RUU tersebut.
Cinta Laura
Berbeda dengan kedua artis sebelumnya, ia adalah sosok artis yang masih berusia belia dan terlihat cenderung polos dan kekanak-kanakan. Ia saat ini adalah salah satu artis muda yang laris pasca keberhasilannya dalam tayangan sinetron Cinderella. Ia yang memang dilahirkan dari seolah Ayah yang berdarah Jerman dan berIbu Indonesia,Ini pula yang memaksa ia untuk berkomunikasi dalam bahasa Internasional yaitu Inggris. Kesempatan tinggal di Indonesia muncul ketika ia berkesempatan menjadi salah satu bintang sinetron dan kebetulan sukses. Kesuksesan ini ternyata tidak hanya terpicu oleh wajahnya yang kebule-bulean saja, tetapi berbicara kebule-bulean ini yang memikat perhatian pemirsa. Alih-alih ia tidak mampu bahasa Indonesia dengan baik, malah seperti itu pula yang mengorbitkan dirinya menjadi pemain sinetron laris. Bahkan kalimat itu pula yang ia jadikan sebagai ladang bisnis sampingan ia dengan dijadikan sebagai Ringtone HP, jadi kita tidak asing lagi dengan kalimat Mana Ujyan…Becuu..ek,…ga ada Ojuu..ek!
Selebritis dalam Konstruksi Realitas Sosial
Berbicara tentang artis tidak terlepas dari kontribusi media massa yang mengangkatnya. Popularitas selebritis tidak bisa dipungkiri melalui kendaraan media massa yang meliputnya. Akhirnya semua tersaji dan terpampang jelas semua perilaku atau tingkah polahnya di media massa dan ditonton bahkan dinikmati oleh masyarakat dalam keseharian mereka. Peristiwa di atas adalah beberapa contoh kasus yang menarik perhatian masyarakat. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, mari kita lihat dalam kajian konstruksi sosial.
Dewi Persik dan Julia Perez adalah sebagai sosok realitas yang ada di masyarakat saat ini. Dengan dalih untuk menciptakan kreativitas, mereka mengekspresikannya dalam olah seni vokal yang diikuti oleh olah gerak bagian pinggul yang mereka klaim sebagai hasil ’temuan’ mereka.
Persoalannya adalah bahwa dalam Berger pun telah  dinyatakan setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas itu dengan konstruksinya masing-masing. Demikian juga dengan peristiwa komunikasi yang dibangun oleh mereka. Impresi realitas sosial ini semakin menguat tatkala tingkah polahnya diliput terutama di media televisi melalui tayangan infotainment. Teori Kultivasi nampak menjadi kurang tepat dalam pemaknaan komunikasi yang dibangun pemirsa karena tayangan infotainment dianggapnya adalah peristiwa sebenar-benarnya dari sosok selebritis seperti layaknya Reality Show.
Sehingga tidak salah jika pemaknaan pornografi media massa tidak saja sampai ketika media memaknakan pornoaksi ke dalam pornografi , namun kekuatan media, terutama televisi telah menyebarkan konstruksi sosial media massa kepada seluruh lapisan masyarakat, ini adalah tahapan berikutnya dari konstruksi sosial media dalam rangkaian proses konstruksi sosial media keseluruhannya. Jadi yang tampak saat ini tidak sekedar fenomena   dua artis yang memiliki kekhasan goyang pinggulnya saja , namun sebenarnya fenomena porno itu sendiri sebagai suatu bangunan sosial yang selama ini ada, hidup dan tumbuh di masyarakat. Karena itu  bukan sekedar fenomena akan tetapi sebagai ikon dari pemaknaan konstruksi sosial yang selama ini ada di masyarakat. Mereka adalah sosok penerus Inul,  hanyalah sebuah penanda dari pertanda yang menjadi persoalan besar yang bernama “porno” dimasyarakat pada umumnya. Ini adalah tahapan objektivasi sebagai sebuah pemahaman realitas sosial yang terinstitusionalisasi dalam masyarakat.
Kekuatan-kekuatan konstruksi sosial media massa terhadap khalayak tentang tingkah polah para selebritis, sampai pada media mampu menciptakan sebuah realitas sosial yang dinamakan realitas maya, serta mampu menghidupkan khalayak pada sebuah realitas yang dibangun berdasarkan kesadaran palsu (pseudo reality). Jadi kekuatan konstruksi sosial media massa mampu melumpuhkan daya kritis khalayak. Karena ternyata pasca-Inul masih terjadi perilaku sejenis yang dilakukan oleh selebritis lainnya. Jadi, persoalannya adalah ketika kemampuan massa itu digunakan untuk mengkonstruksi erotisme, maka kekuatan konstruksi sosial media akan mampu membangun sebuah kesadaran palsu khalayak bahwa erotisme adalah sebuah kebenaran. Ini adalah tahapan internalisasi, masyarakat mengalami konstruksi realitas sosialnya sehingga terjadi adanya kesepakatan makna bahwa perilaku para selebritis tersebut adalah sebuah hal yang wajar dan menjadi sebuah kebenaran.
Kekuatan kebenaran ini selalu mejadi acuan realitas keseharian masyarakat pada umumnya, sesering mereka dipertontonkan berbagai macam konflik yang terjadi atas peristiwa para artis tersebut. Sehingga menjadi wajar tatkala Dewi Persik yang selalu tampil seksi adalah salah satu artis terseksi di dunia dangdut. Wajar pula sosok ia memunculkan rasa penasaran dan rasa ingin tahu lebih dalam tentang keseksian-nya oleh salah satu penggemar dengan melakukan tindakan memegang payudaranya. Itu bisa jadi adalah sebuah proses konstruksi sosial yang dibangun oleh penggemar tersebut akan arti komunikasi seorang Dewi Persik.

Demikian pula dengan peristiwa komunikasi yang terjadi tatkala pencekalan beberapa artis yang berpakaian seksi termasuk Dewi Persik di beberapa daerah. Dewi boleh bersikap berang atas pencekalan tersebut dengan rencana menggugat Walikota Tangerang Wahidin Halim. Tetapi Dewi tidak dapat mencegah peristiwa komunikasi yang dibangunnya. Seperti yang dinyatakan oleh Carl I Hoveland  bahwa komunikasi adalah : “Communication is the process by which an individual transmit stimuly (usually verbal symbols) to modify the behavior of another individuals”. Dalam definisi ini tampak komunikasi itu sebagai proses menstimulasi dari seseorang individu terhadap individu lain dengan menggunakan lambang-lambang yang berarti, berupa lambang kata untuk mengubah tingkah laku. Dan tahap objektivasi itulah yang dinyatakan oleh seorang Walikota Tangerang dalam mengkonstruksi realitas sosial yang muncul dalam memakna bangunan sosial dari Dewi Persik.
Demikian juga dengan bangunan sosial yang diciptakan oleh Julia Perez, meski ia mencoba untuk menyatakan bahwa tindakan memberi bonus kondom adalah bagian dari kepedulian ia dalam memerangi HIV /AIDS dan tindakan ini sebagai upaya mendukung program pemerintah dalam bidang KB, ia tidak bisa mengelak bahwa seorang Jupe adalah sosok artis seksi yang seronok. Sosok itulah yang terkonstruksi di benak masyarakat. Ia kurang menyadari tindakan itu berlawanan dengan budaya yang ada saat ini. Pemberian Kondom gratis masih sulit diartikan sebagai pencegahan HIV/AIDS, pemberian kondom semakin sulit ketika dinyatakan sebagai “Save Sex”. Artikulasi ‘seks yang aman’ dalam budaya kita sebagai sebuah pemaknaan bahasa adalah seks bebas. Artinya bahwa kondom dikomunikasikan sebagai alat untuk dapat melakukan pergaulan seks secara bebas namun aman. Itulah Konstruksi sosial yang terbangun di masyarakat yang menguatkan seorang Julia Perez adalah Icon artis terseksi!
Berbeda dengan Kasus Cinta Laura, Berger memandang bahwa realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini realitas berwajah ganda/plural. Hal yang harus diakui popularitas Cinta Laura adalah sebuah fenomena bangunan sosial yang ia miliki secara tidak sengaja. Fenomena popularitas seorang artis biasa terbangun oleh wajah Indo atau kebule-bulean, seperti dipelopori oleh artis dekade tahun 80-an Ida Iasha, sementara Cinta Laura populer dengan berbicara kebule-bulean. Berawal dari juara Top Model 2006, akhirnya ditawari untuk menjadi pemain sinetron Cinderella. Dan uniknya empat bulan pertama ia habiskan untuk belajar bahasa Indonesia. Jadilah ia tampil dengan keterbatasan kemampuan bahasa dan keterbatasan intonasi bahasa yang berlanggam Indonesia. Uniknya lagi ucapan dan gaya berbicara keriting itulah yang memikat perhatian pemirsa.
Berawal dari ketidaksengajaan itulah yang akhirnya disadari oleh pihak Cinta Laura sebagai sebuah nilai jual. Mengulang pernyataan Berger bahwa konstruksi sosial itu dapat dibentuk atau dikonstruksikan, peristiwa itulah yang menginspirasinya menjadi sebuah trademark Cinta Laura. Trademark itulah yang menjadi sebuah aset yang dianggap layak jual sehingga merasa perlu untuk dijual dalam bentuk Ringtone HP dengan kalimat Mana Ujyan…Becuu..ek,…ga ada Ojuu..ek!

Peristiwa komunikasi yang terjadi dalam ketiga kasus ini menunjukan sebuah pola pembedaan realita dari masing masing benak dirinya dengan masyarakat.  Tatkala Dewi Persik dan Julia Perez berujar bahwa penampilan adalah satu paket yang harus ia hadirkan demi mumuaskan para penggemarnya, tentu tidak akan bisa ’dipaksa’ sama bagi publik lainnya. Demikian juga dengan yang dialami Cinta Laura tatkala ia mengalami kesulitan berbicara yang terlihat ’keriting’ dalam berlanggam Indonesia, realita yang terjadi dibenak publik adalah sebuah kelucuan.
Persoalan adanya keberpengaruhan yang memunculkan reaksi konstruksi sosial adalah sebuah konsekuensi logis yang terjadi dimasyarakat, mengingat bahwa selebritis adalah Public Figure. Keberadaan mereka sebagai public figure yang terus menerus menjadi sorotan masyarakat, akan semakin tersorot jika mereka memiliki ’keunikan’ kasus. Semakin menarik kasus yang sedang menimpa mereka semakin gencar pemberitaan mereka di berbagai media. Semakin gencar pemberitaan di media semakin mudah pula akses yang dimiliki masyarakat untuk mengetahui sosok selebritis. Dan semakin mudah mereka mengakses berita selebritis semakin besar pula persoalan konflik realitas sosial yang mengkonstruksi dalam diri masyarakat.